Kamis, 17 April 2008

9 Penyebab ketakutan berbicara di depan umum

Hampir kebanyakan orang yang pernah merasakan berbicara didepan umum, pasti
pernah mengalami ketakutan. Keringat dingin, gelisah, selalu merasa ingin ke
toilet adalah sebagian refleksi dari rasa ketakutan tersebut. Berdasarkan
hasil penelitian ada 9 penyebab ketakutan yang signifikan ketika berbicara
didepan umum :

1. Takut akan gagal, ingin selalu sukses dan takut gagal malah
kadangkala membuat ketakutan itu semakin besar.

2. Tidak ada rasa percaya diri, merasa diri tidak mampu untuk melakukan
hal tersebut.

3. Traumatis, memiliki rasa takut dan merasa sendirian ketika berdiri
di panggung dan semua mata melihat padanya.

4. Takut dinilai/dihakimi, hal ini terjadi karena adanya perasaan takut
ketika banyak orang membicarakan dirinya atau pendapatnya.

5. Terlalu perfeksionis, perfeksionis baik, tetapi terlalu perfeksionis
dan berharap terlalu banyak pada dirinya sendiri malah membuat efek negatif.

6. Takut akan orang banyak, merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri
ketika berbicara di depan puluhan, ratusan atau ribuan orang.

7. Kurangnya persiapan, persiapan yang minim membuat rasa takut untuk
berbicara di cepan umum ini semakin menjadi-jadi.

8. Stress, menghindari stress ketika berbicara di depan umum.

9. Blank, takut tidak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus
dibicarakan ketika berbicara didepan umum.

Semua penyebab ketakutan diatas harus diatasi, pahamilah bahwa semua orang
mengalaminya bahkan pembicara hebatpun pasti pernah mengalaminya. So…kenali
dan taklukan penyebab rasa takutmu.

Bukti Bahwa Kita Pernah Ada

Sekalipun tidak pernah melihat dinosuarus secara langsung, anda
percaya bahwa mahluk itu memang pernah menghuni bumi kita. Apakah
anda juga percaya bahwa mahluk-mahluk dalam film fiksi ilmiah
seperti naga penyembur api dan kuda unicorn benar-benar pernah ada
dibumi ini? Saya yakin anda sependapat bahwa itu hanyalah mahluk
khayalan belaka. Anda tidak pernah melihat langsung dinosaurus.
Tidak juga unicorn atau naga. Tetapi, mengapa anda yakin bahwa
dinosaurus pernah ada sedangkan yang lainnya sekedar dongeng saja?
Itu karena kita semua dapat menemukan jejak dinosaurus berupa fosil-
fosil yang ditinggalkannya. Naga dan Unicorn? Tidak. Kesimpulannya
tentu saja; Ada bukti bahwa dinosaurus pernah ada. Lantas, bagaimana
dengan kita?

Alkisah, Tuhan mengijinkan setiap orang beriman yang sudah meninggal
untuk berkunjung ke dunia. Hanya satu kali. Hanya satu hari. Mereka
boleh menggunakan kesempatan itu untuk melakukan apa saja didunia
ini. Biasanya mereka berkunjung menemui sanak famili dan orang-orang
terkasihnya, untuk sekedar melakukan satu hal yang ingin
dilakukannya terakhir kali. Namun, mereka tidak bisa berkomunikasi
kecuali dengan anak-anak kecil. Karena kebanyakan orang dewasa tidak
bisa merasakan kehadirannya. Salah satu dari orang beriman itu
keluar dari pintu sorga, lalu terbang menuju rumah dimana orang-
orang yang dikasihinya tinggal. Sesampai didepan rumah, dia mengetuk
pintu sambil berucap salam.

"Bunda, ada tamu." Kata cucunya yang lucu. Bundanya bilang "Mana?"
Lalu dia kembali kedapur. Sekali lagi orang beriman itu mengucap
salam. "Ayah, ada tamu." Kata sang cucu lagi. Ayahnya tersenyum.
Lalu melanjutkan membaca koran. Orang itu sekali lagi mengucap
salam. Dan kali ini sang cucu membalas salamnya sambil berlari
kearah pintu. "Kakek!?" katanya berseru seraya memeluk kakeknya yang
sudah sangat lamaaaaaaaa sekali tidak bertemu. Mereka berpelukan.

"Aku kangen sama kakek.....," kata anak itu. Tiba-tiba saja dari
sudut mata sang kakek mengalir air mata sebening kaca. Kembali
terbayang saat-saat dimana dia menggendong cucunya ketika masih
bayi. Membimbingnya untuk belajar berjalan. Mengajarinya naik
sepeda. Menemaninya bermain ditaman. Rasanya, dia masih ingin
menjalani semuanya itu. Tetapi, waktunya hanya satu hari saja.
Sejenak, dia berpikir tentang apa yang akan dilakukannya bersama
sang cucu tercinta. Dia ingin itu menjadi saat paling istimewa bagi
cucunya. Dia ingin itu menjadi bekal paling berarti bagi
kehidupannya kelak. Dan dia ingin, kesempatan terakhir yang
dimilikinya menjadi warisan paling bermakna darinya.

"Cucuku," katanya dengan penuh kasih. "Kakek ingin mengajakmu
berjalan-jalan. "
"Naik sepeda seperti dulu, Kek?" Mata cucunya berbinar-binar.
"Tidak," kata sang kakek."Kita akan terbang...." lanjutnya kemudian.

Sang cucu berteriak kegirangan. "Horeeeee aku akan terbang. Aku akan
terbang!" serunya sambil berlari-lari dari ruang tamu. Lalu ke
dapur. Ke halaman belakang. Kemana-mana. "Aku akan terbang bersama
kakek," katanya lagi. Bunda dan Ayahnya geleng-geleng kepala sambil
tersenyum."Ayah, Bunda, aku mau terbang bersama kakek ya?" suara
renyahnya memenuhi udara. Sekali lagi Ayah dan Bunda saling
bepandangan. Lalu mereka tersenyum. Dan; "Iya, sayang. Titip salam
sama kakek ya..." kata Bunda sambil mencubit pipinya yang tembem.
Anak itu lari kehalaman depan. Memeluk kakeknya. Lalu mereka terbang.

Dari ketinggian, mereka melihat gedung menjulang. Gedung yang indah.
Lagi megah. "Lihatlah gedung itu Cucuku," katanya. Sang cucu
melihatnya dengan kagum. Ribuan orang keluar masuk gedung itu,
sambil sesekali mereka berdecak kagum atas keindahannya. "Dulu,
kakek ikut membangun gedung itu," katanya. Dan benar, diantara
dinding yang kokoh anak itu melihat sidik jari kakeknya. Lalu mereka
kembali terbang.

Tiba-tiba, mereka melihat sebuah taman yang indah. "Lihatlah taman
itu Cucuku," kata sang Kakek. Sang cucu melihatnya dengan takjub.
Ribuan orang asyik bermain ditaman itu. "Dulu, kakek ikut menanam
pepohonan disana," katanya. Dan benar, ketika mereka melintas diatas
taman itu, semua pohon yang dulu ditanam sang kakek merunduk penuh
hormat. Lalu, mereka kembali terbang.

Dari atas sana, mereka melihat jembatan panjang. Melintang diatas
sungai yang lebar lagi dalam. "Lihatlah jembatan itu Cucuku," kata
sang kakek. Ribuan kendaraan berlalu lalang diatasnya. "Dulu Kakek
ikut menancapkan tiangnya," Dan benar, ketika mereka terbang
diatasnya, tiang-tiang jembatan itu membungkuk khidmat. Lalu, mereka
terbang kembali.

Sepanjang hari itu, sang kakek menunjukkan kepada cucunya semua hal
yang sudah dibangunnya ketika dia masih hidup. Dan sang cucu begitu
terkagum-kagum atas semua pencapaian yang sudah dibuat oleh
kakeknya. Lalu dia berkata; "Aku ingin seperti Kakek," katanya.
"Oh, ya?" jawab sang Kakek.

"Kalau aku sudah menjadi kakek-kakek nanti," kata anak itu, "Aku mau
membawa cucuku terbang."
"Oh, ya?" kata sang kakek.

"Aku mau tunjukkan kepadanya semua yang pernah kubuat semasa
hidupku."
"Kamu akan membangun gedung-gedung seperti kakek?" katanya.
"Tidak." jawab sang cucu.
"Taman?"
"Tidak."
"Jembatan?"
"Tidak."

"Lantas, apa?"
"Aku mau membangun apa saja yang bisa membuktikan bahwa aku pernah
ada." kata cucunya dengan mantap.

"Kakek belum mengerti apa yang kamu katakan, Cucuku." kata sang
kakek dengan penuh kebanggaan.
"Aku ingin agar semua orang bisa mengenang aku meskipun aku sudah
meninggal kelak, Kek."
"Oh, ya?"
"Iya." katanya. "Seperti orang-orang yang saat ini mengagumi semua
yang pernah kakek buat dimasa kakek hidup dulu."

Kakeknya tersenyum bahagia. Bermanfaat sudah waktu satu hari yang
Tuhan berikan kepadanya. Dihadapannya kini berdiri seorang anak
kecil yang siap melakukan sesuatu dalam hidupnya. Sesuatu yang layak
dikenang. Sesuatu yang patut dikagumi. Sesuatu yang pantas diingat.
Sesuatu yang membuktikan bahwa dia pernah ada.

"Mari kita pulang Cucuku," kata sang kakek. Lalu mereka kembali
terbang.

Hari sudah malam ketika mereka tiba dirumah. Dan saat anak itu
berada dihadapan Ayah dan Bunda, mereka seolah-olah terkejut
karenanya. "Darimana saja kamu, Nak?" kata mereka dengan cemas.

"Aku habis terbang bersama, Kakek." kata anak itu.
"Jangan main-main, Nak." kata mereka. "Kamu tidak boleh lagi pergi
seperti itu."
Anak itu tersenyum. "Baiklah, Bunda." katanya. "Tapi kalau aku sudah
besar nanti," lanjutnya. "Aku akan membuat sesuatu yang menjadi
bukti bahwa aku pernah ada."

Ketika anak kecil itu tertidur pulas, Ayah dan Bunda memandang
wajahnya yang bening dalam tidur penuh senyum. Ayah Bunda saling
pandang, lalu mereka berkata;"Bukti bahwa kita pernah ada?" Ya.
Bukti bahwa kita pernah ada.

Mengapa Kita Melakukan Kesalahan Secara Berulang-Ulang?

Saya selalu ingat sosok dosen yang mengajar ilmu Kimia Dasar ditahun
pertama masa perkuliahan. Beliau mengatakan;" Keledai, tidak pernah
terjerumus kedalam lubang yang sama." Kalimat itu pendek. Tetapi
penuh makna. Dan ingatan saya menyimpannya lebih baik dibandingkan
terhadap ilmu kimia itu sendiri. Sesungguhnya, dosen saya itu sedang
menyampaikan pesan supaya kita - manusia – tidak melakukan kesalahan
yang sama secara berulang-ulang. Tanpa disadari, ternyata memang
kita mempunyai sifat mengulang-ulang kesalahan semacam itu. Kita
tahu bahwa itu salah, tapi dilakukan lagi, dan lagi. Kita bertobat.
Namun, kembali melakukannya. Mengapa ya?

Kita sering menemukan orang yang tidak bosan-bosannya melakukan
tindakan negatif. Kita sendiripun demikian. Saat kita merenung
dimalam hari, hati kita berbisik;"Iya, kenapa saya melakukan hal itu
ya? Mestinya kan tidak begitu." Dan ketika kita memikirkannya
dengan lebih seksama, ternyata bukan sekali itu saja kita
melakukannya. Makanya, tidak mengherankan jika kita sering
bercucuran air mata saat menyampaikan pengakuan dosa, namun; kok
begitu sulitnya bagi kita untuk menghentikan perbuatan itu. Lalu
kita mengaku dosa lagi. Dan melakukan perbuatan itu lagi.

Saya tidak tahu pasti, apakah keledai benar-benar tidak pernah
terjerumus kedalam lubang yang sama. Tetapi, kelihatannya memang
demikian. Setidaknya, saya melihat perilaku itu pada kuda, karena
dikampung saya banyak sekali kuda. Kuda tahu persis lubang yang
pernah membuatnya terperosok. Ketika melintasi daerah yang sama, dia
membelok; dan selamat dari jebakan lubang itu untuk kedua kalinya.

Ada dua alasan mengapa terperosok kedalam lubang yang sama itu
bukanlah gagasan yang bagus. Pertama, terperosok kedalam lubang yang
sama menguatkan rasa sakit yang pernah kita alami sebelumnya.
Melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang juga demikian. Ketika
kita melakukan kesalahan untuk pertama kalinya, mungkin akan mudah
untuk mendapatkan maaf atau pengampunan. Tetapi, jika kesalahan itu
dibuat berulang-ulang? Anda mungkin saja sangat pemaaf, tetapi jika
orang yang anda harus maafkan itu melakukan kesalahan yang sama
terus-menerus, apakah pintu maaf itu selalu terus terbuka untuknya?
Orang lain juga demikian. Sekali kita melakukan kesalahan. Mereka
memaafkan. Untuk yang kedua kalinya?

Terperosok kedalam lubang yang sama? Hah..., keledai saja tidak
pernah. Padahal, kultur kita menganggap keledai itu mahluk paling
bodoh dimuka bumi. Sampai-sampai kita membuat frase 'keledai
dungu!'. Hey, keledai itu tidak pernah terperosok kedalam lubang
yang sama lho. Manusia seperti kitalah yang sering mengalaminya.
Jadi.... ketika kita bilang 'keledai dungu!', jangan-jangan si
keledai bilang ;"Ngaca dong bok!" Agak sedikit memalukan ya. Itulah
alasan yang kedua.

Baiklah, mari kita akui saja bahwa kita sering melakukan kesalahan
yang sama. Tapi, apakah itu berarti kita harus mengakui bahwa yang
dungu itu bukan keledai? Bukankah kita sering mendengar; "Tidak apa-
apa, namanya juga manusia. Melakukan kesalahan itu biasa." Kalimat
ini ada benarnya. Tapi tidak selamanya demikian. Benar jika kita
menerapkannya dalam konteks yang benar. Keliru jika kita
menjadikannya alat untuk berkilah. Untuk itu, kita perlu membedakan
dua jenis kesalahan yang biasa kita lakukan. Pertama, kesalahan yang
berhubungan dengan keterbatasan keterampilan, atau skill kita.
Kedua, kesalahan yang berhubungan dengan pelanggaran norma dan nilai
kemanusiaan kita.

Kesalahan jenis pertama tidak serta merta digolongkan sebagai dosa.
Kita melakukannya karena memang kita tidak bisa. Hari ini kemampuan
kita belum bagus, jadi kesalahan itu terjadi. Tapi, kemudian kita
belajar, sampai akhirnya benar-benar mahir. Setelah mahir itulah
kita bisa terbebas dari peluang melakukan kesalahan yang sama. Kita
tidak salah lagi, karena memang sekarang kita sudah terampil. Jadi,
kesalahan yang berulang-ulang masih bisa diterima dalam konteks
proses pembelajaran. Kita bisa meminta bantuan teman. Atau mengikuti
kursus dan pelatihan. Apa saja. Yang penting ada kemauan, dan
disediakan kesempatan untuk melakukan perbaikan.

Kesalahan jenis kedua, lain lagi. Ada tendensi dalam diri kita untuk
melakukan itu. Kita tahu bahwa ada hak-hak orang lain yang terampas
dengan perbuatan kita. Kita tahu, bahwa mengambil sesuatu yang bukan
haknya itu merupakan perilaku buruk. Anehnya, kita bukan sekedar
tahu saja; kita menyerukan kepada orang lain untuk tidak
melakukannya. Kita turun ke jalan-jalan, lalu meneriakkan slogan-
slogan. Dan...., ketika kita mempunyai kesempatan; kesalahan itulah
pula yang kita lakukan.

Kita melakukannya dimasa lalu. Baiklah, itu dimasa lalu. Semoga
Tuhan mengampuni. Dan orang yang dirugikan memaafkan, mudah-mudahan.
Tetapi, itu hanya boleh terjadi dimasa lalu saja. Bagaimana caranya
untuk tidak mengulangi hal itu dimasa depan, itulah pertanyaannya
kemudian.

Pendek kata; Jangan terlampau merisaukan kesalahan-kesalahan yang
kita lakukan karena kurangnya pengetahuan, pengalaman dan
keterampilan. Biar saja, karena berbuat kesalahan semacam itu
sifatnya manusiawi. Semua orang melakukan kesalahan yang sama ketika
tingkat keterampilannya masih rendah. Kita bisa belajar untuk
memperbaikinya, kok. Tenang saja. Berlatih dan berkemauan teguh bisa
membantu kita mencapai kesempurnaan. Namun, jika kesalahan itu
menyangkut sistem nilai atau pelanggaran norma, maka jalan keluarnya
hanya satu: hentikan. Itu saja.

Tak ada manusia yang benar-benar bersih dari kesalahan. Apakah
karena ketidaktahuan, atau karena kesengajaan. Itu masa lalu. Masa
depan, itulah fokus kita. Terimalah masa lalu kita apa adanya dia,
dan rancanglah masa depan dengan lebih baik lagi. Keledai saja bisa.
Mengapa kita tidak?

Selain memiliki arti kiasan, kata 'terperosok' dan 'lubang' juga
tentu memiliki arti kata yang sebenarnya. Artinya, ada lubang dan
ada yang terperosok jatuh kedalam lubang itu. Dijembatan
penyeberangan Bus Way Benhil depan Atmajaya, lempengan baja yang
menjadi lantai jembatan jebol dan terjungkat keatas. Membentuk
lubang besar yang menganga disana. Orang bisa tersandung atau bahkan
terperosok kelubang itu. Kerusakan itu sudah terjadi sejak lama. Dan
sampai tanggal 19 Maret 2008 tidak juga ada perbaikan, malah semakin
parah. Adakah yang bisa memberitahu petugas pemda untuk
memperhatikan dan memperbaiki kerusakan itu? Tolong beritahukan
kepada mereka ya, teman. Jangan karena belum terjadi kecelakaan kita
menganggap hal semacam itu sepele.

Dimasa lalu, kita sering membiarkan fasilitas umum rusak sampai
terjadi kecelakaan. Itu sebuah kesalahan. Sudah saatnya kita meniru
keledai yang tidak melakukan kesalahan yang sama. Mulai sekarang,
jika ada jalan yang rusak atau jembatan yang berlubang; jangan
membiarkan pengendara motor terjatuh dulu. Atau pejalan kaki
tersungkur. Segera perbaiki. Kita dan keledai sama-sama memiliki
insting. Kalau keledai melihat jalan berlubang, maka instingnya
mengatakan:" Cari jalur lain untuk lewat." Kalau kita melihat lubang
semacam itu, maka insting kita mengatakan:" Perbaiki. " Lalu kita
memanggil kontaktor, dan membayar mereka untuk mengerjakannya sebaik
mungkin. Para pembayar pajak berhak mendapatkan semuanya itu.